Pernahkah kamu mencium aroma
tertentu lalu tiba-tiba terlempar pada kenangan lama yang bahkan sudah lama
terkubur? Parfum, lebih dari sekadar wangi, adalah mesin waktu kecil yang
sanggup membawa kita ke masa lalu atau bahkan menghidupkan perasaan baru. Buku Cara
Meracik Parfum Bagi Pemula membuka pintu ke dunia itu dengan cara yang
begitu sederhana, menyenangkan, sekaligus dalam. Membacanya seperti diajak
duduk bersama seorang teman yang sabar, mengajarkan rahasia lama yang dulu
hanya dimiliki para peracik wewangian istana.
Sejak halaman pertama, saya merasa
buku ini tidak hanya tentang belajar meracik parfum teknis semata,
tetapi tentang perjalanan menemukan identitas lewat aroma. Parfum bukan sekadar
campuran minyak esensial, alkohol, atau bibit wewangian; ia adalah ekspresi
diri, bahasa tanpa kata, sekaligus bentuk seni yang paling intim.
Menurut data sejarah yang diuraikan
di buku ini, parfum sudah dikenal sejak 4000 SM di Mesir kuno. Wewangian kala
itu digunakan dalam ritual keagamaan hingga pengawetan jenazah. Bahkan Prancis
pernah menjadi pusat kejayaan parfum, dengan Raja Louis XV dijuluki The
Perfume King. Fakta ini saja sudah cukup membuat saya menatap botol parfum
di meja dengan perspektif baru: ternyata yang saya semprotkan tiap pagi adalah
hasil ribuan tahun evolusi budaya.
Lalu timbul pertanyaan dalam benak:
jika parfum bisa bicara, wangi seperti apa yang akan saya pilih untuk mewakili
jiwa saya?
Hook berikutnya muncul ketika saya
membaca bagian tentang bibit parfum. Di sini, buku ini benar-benar detail dan
membumi. Ada floral yang romantis, citrus yang segar, woody yang hangat,
oriental yang sensual, hingga fruity yang manis. Penjelasannya lugas namun
memikat, seolah sedang memilih warna cat untuk melukis kanvas hidup.
Analogi yang saya sukai: meracik
parfum ibarat merangkai sebuah lagu. Ada nada tinggi (aroma atas) yang langsung
menyapa, nada tengah yang membangun harmoni, dan nada rendah (aroma dasar) yang
memberi kedalaman serta keabadian. Buku ini bahkan memberi formula sederhana
3:2:1 untuk pemula—seperti resep rahasia yang akhirnya dibuka ke publik.
Rasanya seperti menemukan cheat code kecil untuk dunia aroma.
Membaca itu membuat saya sadar: cara
meracik parfum bagi pemula ternyata tidak sesulit yang dibayangkan. Dengan
alat sederhana, pipet, botol kaca gelap, dan kesabaran, siapa pun bisa memulai
perjalanan aromatiknya.
Namun, keindahan buku ini tidak
berhenti di teknis. Ada lapisan reflektif yang kuat. Misalnya, tentang
bagaimana aroma bisa memengaruhi mood, menciptakan kesan sosial, bahkan
mengikat memori seseorang pada momen tertentu. Penulis menekankan bahwa meracik
parfum sendiri bukan sekadar “hemat biaya”, melainkan perjalanan menuju
kebebasan ekspresi.
Saya jadi ingat satu momen pribadi.
Pernah suatu kali, aroma lavender membuat saya merasa pulang meski sedang
berada jauh dari rumah. Saat membaca buku ini, saya menemukan alasan ilmiah di
balik itu: aroma menyentuh bagian otak yang langsung berkaitan dengan memori
dan emosi. Artinya, setiap parfum adalah cerita, setiap racikan adalah autobiografi
kecil.
Apakah kamu tidak tergoda untuk
menuliskan kisahmu sendiri lewat aroma?
Yang membuat buku ini semakin
berharga adalah bab tentang tren parfum modern. Ternyata, di era sekarang,
parfum bukan lagi sekadar produk mewah dengan label brand besar. Ada pergeseran
menuju personalisasi: orang ingin punya aroma yang hanya “milik mereka”. Buku
ini menjawab kebutuhan itu dengan memberi panduan bagaimana kita bisa meracik
parfum sesuai suasana hati, acara, atau bahkan musim.
Di titik ini, saya melihat buku
meracik parfum ini seperti mentor yang menuntun pembaca menemukan kebebasan
kreatif. Jika dunia fashion memberi kita kebebasan berpakaian, maka dunia
parfum memberi kita kebebasan beraroma. Dan uniknya, aroma jauh lebih intim
daripada pakaian—ia menempel, menyelimuti, bahkan mendahului kita sebelum kata
pertama diucapkan.
Buku ini juga mengajarkan kesabaran.
Tidak semua racikan langsung berhasil. Ada tahap “mendiamkan parfum” beberapa
minggu agar komponen menyatu dan menghasilkan aroma harmonis. Proses ini
mengingatkan saya pada cara kopi harus diseduh dengan suhu tepat, atau wine
yang butuh waktu untuk matang. Semua butuh ruang untuk bernafas, berproses, dan
menyatu.
Seolah memberi pesan tersembunyi:
dalam hidup, kesabaran adalah kunci untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar
indah.
Dalam perjalanan membaca, saya
merasa buku ini lebih dari sekadar manual teknis. Ia adalah undangan untuk
berani bereksperimen, refleksi tentang siapa kita, dan pengingat bahwa indra
penciuman adalah pintu menuju emosi terdalam.
Bayangkan, dalam dunia yang semakin
serba cepat dan instan, meracik parfum justru mengajak kita untuk melambat,
mendengar bisikan aroma, dan menulis cerita diri lewat wangi. Ini bukan sekadar
belajar membuat parfum, tapi belajar mengenal diri.
Pada akhirnya, Cara Meracik
Parfum Bagi Pemula adalah buku yang membuat saya tidak hanya ingin membaca,
tetapi langsung mencoba. Rasanya ada urgensi, ada FOMO—takut ketinggalan
kesempatan untuk menemukan aroma diri saya sendiri. Karena bukankah ironis jika
selama ini kita didefinisikan oleh parfum buatan orang lain, padahal kita bisa
menciptakan sesuatu yang lebih jujur dan otentik?
Buku ini membuat saya ingin berkata:
“Aku ingin aromaku bercerita tentangku, bukan tentang merek di botolnya.”
Jika kamu mencari buku yang
memadukan ilmu, seni, sejarah, dan refleksi personal, maka inilah jawabannya.
Jangan biarkan pengalaman meracik aroma hanya jadi wacana. Biarkan ia menjadi
pengalaman hidupmu berikutnya.
Temukan bukunya di toko buku
terdekat atau pesan secara online di http://lynk.id/pdfonline/y05wovww1y34/checkout
Jangan sampai kamu hanya menjadi penonton dalam dunia aroma, sementara orang
lain sudah menulis kisah hidupnya dengan wangi unik mereka.
#arahwaktu #ulasbuku #parfum
#meracikaroma #ekspresidiri #selfdiscovery #bukubagus
