Apa yang sebenarnya membuat sebagian
orang bisa sukses jualan online, sementara sebagian besar lainnya tenggelam
tanpa jejak? Data dari Oberlo tahun 2022 menyebutkan bahwa 90% bisnis
digital gagal di tahun pertama. Angka ini mengejutkan sekaligus menyedihkan.
Banyak yang berangkat dengan semangat, modal, bahkan produk bagus, tetapi tetap
saja kandas. Saya sempat bertanya-tanya, “Apa yang salah?” Hingga akhirnya saya
menemukan jawabannya dalam sebuah buku berjudul Lynk.id & Digital
Marketing – Cara Cerdas Jualan di Era Online.
Membaca buku ini seperti membuka
pintu yang selama ini tertutup rapat. Saya merasa seperti sedang duduk bersama
mentor yang membongkar kebiasaan-kebiasaan keliru para pebisnis online pemula.
Yang paling mengejutkan, kegagalan itu sering kali bukan karena produknya, tapi
karena penjualnya tidak memperkenalkan dirinya dengan benar. Sederhana, tapi
justru di sanalah letak masalah utama.
Bayangkan sebuah panggung megah
dengan lampu terang dan sound system berkualitas tinggi, tetapi tidak ada satu
pun penonton. Begitulah rasanya punya produk tanpa personal branding. Analogi
ini menghantam saya keras, karena saya pernah mengalaminya: membuat produk
digital dengan penuh semangat, hanya untuk mendapati postingan saya sepi
komentar dan tidak ada transaksi.
Lalu, apa sebenarnya inti dari buku Lynk.id
& Digital Marketing – Cara Cerdas Jualan di Era Online?
Jawabannya sederhana namun mendalam:
orang membeli karena percaya, bukan karena butuh. Kalimat ini
berkali-kali terngiang di kepala saya. Saat melihat Apple, saya tidak hanya
melihat iPhone, tapi identitas dan prestise. Saat melihat Nike, saya tidak
sekadar melihat sepatu, tapi semangat kemenangan. Dan di dunia digital,
personal branding adalah modal yang bahkan bisa lebih mahal daripada produk itu
sendiri.
Saya teringat sebuah penelitian dari
Edelman Trust Barometer tahun 2021 yang menegaskan bahwa 63% konsumen lebih
mempercayai orang biasa di media sosial dibandingkan perusahaan besar.
Fakta ini semakin memperkuat pesan buku ini: kepercayaan jauh lebih penting
daripada strategi iklan yang mahal.
Buku ini tidak hanya berhenti pada
teori. Ia menjelajah ke berbagai sisi praktis dunia digital marketing dengan
cara yang ringan dan mudah dipahami. Dari membangun pondasi personal branding,
menggunakan Lynk.id sebagai etalase digital, strategi konten yang membuat orang
betah, hingga cara membangun funnel sederhana tapi efektif untuk pemula.
Salah satu bagian favorit saya
adalah ketika penulis menjelaskan tentang jebakan umum yang menjerat pemula.
Ada yang terlalu fokus pada tampilan visual hingga lupa menyampaikan makna. Ada
yang rajin posting, tapi tanpa arah, sehingga audiens bingung siapa mereka
sebenarnya. Ada juga yang hanya mengejar teknik cepat closing, padahal
membangun hubungan jangka panjang lebih berharga. Membaca bagian ini membuat
saya banyak mengangguk dan merasa “ini gue banget”.
Tapi apa yang membuat buku ini
berbeda dari ratusan buku marketing lainnya?
Bagi saya, keistimewaannya ada pada
cara penyampaian. Alih-alih dipenuhi jargon teknis, buku ini bercerita dengan
bahasa manusia. Membacanya terasa seperti diajak ngobrol santai, bukan digurui.
Ada cerita nyata, studi kasus, hingga refleksi personal penulis yang membuat
saya merasa ditemani dalam perjalanan.
Misalnya, ada kisah tentang seorang
penjual template desain dengan harga murah yang justru sepi peminat. Sementara
orang lain dengan produk biasa saja justru dibanjiri pembeli. Bedanya terletak
pada kepercayaan. Penjual kedua berhasil membangun hubungan dengan audiensnya,
sementara yang pertama hanya fokus pada produk. Analogi ini sederhana tapi
sangat mengena.
Mari saya beri ilustrasi lain.
Belajar digital marketing tanpa
praktek itu ibarat belajar berenang lewat buku tapi tidak pernah menyentuh air.
Kita bisa hafal teori gaya kupu-kupu, gaya punggung, atau gaya bebas. Tapi
begitu terjun ke kolam, panik dan tenggelam. Itulah yang dialami banyak orang.
Mereka menghabiskan waktu menonton video tutorial, ikut webinar, membeli kelas
online, tapi tidak pernah benar-benar mengenali dirinya sendiri dan membangun
branding secara konsisten. Buku ini hadir sebagai tamparan halus: berhentilah
sibuk mencari shortcut, mulailah dengan pondasi.
Momen lain yang membekas bagi saya
adalah penekanan bahwa memperkenalkan diri bukanlah aksi sekali jadi. Bukan
sekadar membuat satu video perkenalan atau menulis bio keren di Instagram.
Branding adalah perjalanan panjang, di mana setiap postingan, setiap balasan
komentar, setiap interaksi kecil adalah bagian dari narasi yang kita bangun.
Saat membaca bagian ini, saya
seperti disadarkan: selama ini saya hanya “tampil” tanpa benar-benar
“membangun”. Orang mungkin melihat, tapi mereka tidak mengingat siapa saya. Itu
sebabnya engagement sering stagnan. Dan itulah celah yang coba ditutup buku
ini: mengubah cara kita melihat branding, dari sekadar tampilan menjadi
persepsi.
Saya jadi teringat pertanyaan yang
ditulis di buku ini, “Sebelum kamu jualan, siapa kamu di mata mereka yang akan
membeli?”
Pertanyaan itu menohok. Membuat saya
berhenti sejenak, menutup buku, dan bertanya pada diri sendiri: apa yang
sebenarnya diingat orang ketika melihat nama saya? Apakah hanya sekadar penjual
produk, atau ada nilai yang lebih dalam?
Di titik inilah saya sadar, buku ini
bukan hanya tentang strategi teknis digital marketing. Ia lebih kepada mindset
shift — perubahan pola pikir yang membuat kita tidak lagi melihat bisnis
online sekadar sebagai transaksi, tetapi sebagai perjalanan membangun
kepercayaan.
Lalu, bagaimana dengan Lynk.id yang
disebutkan di judul buku?
Buku ini membahas Lynk.id sebagai
etalase digital yang bisa menjadi pusat gravitasi personal branding kita. Jika
Instagram, TikTok, atau marketplace adalah keramaian pasar malam, maka Lynk.id
adalah lapak pribadi yang bisa menampilkan siapa kita secara lebih jelas. Dengan
Lynk.id, audiens tidak hanya melihat produk, tapi juga narasi, cerita, dan
identitas kita.
Saya merasa pendekatan ini sangat
relevan. Di tengah banjir informasi yang begitu deras, orang tidak lagi punya
waktu untuk mencari tahu kita dari satu platform ke platform lain. Lynk.id
menyatukan semuanya dalam satu pintu. Dan buku ini mengajarkan cara
memanfaatkannya dengan efektif.
Yang paling saya sukai adalah gaya
penulis yang penuh empati. Ia tahu betul rasanya memulai dari nol. Ia bercerita
tentang bagaimana dulu ia pernah membuat konten yang tidak dipedulikan orang,
menjual produk yang tak laku, dan merasa frustrasi. Dari sana, lahir pengalaman
berharga yang kini dituangkan dalam buku ini. Membacanya membuat saya merasa
ditemani, bukan dihakimi.
Di era di mana semua orang
berlomba-lomba terlihat paling canggih, buku ini justru mengingatkan hal-hal
paling mendasar. Bahwa branding bukan soal pamer, tapi soal dikenali. Bahwa
jualan digital bukan sekadar mengejar algoritma, tapi membangun kepercayaan.
Dan bahwa produk hanyalah pintu kedua; pintu pertama selalu diri kita.
Kalau kamu seorang pemula yang ingin
terjun ke dunia digital marketing, buku ini seperti kompas yang akan menuntunmu
agar tidak tersesat. Kalau kamu seorang pelaku UMKM yang merasa stuck, buku ini
bisa jadi jalan untuk membangun ulang pondasi bisnis online-mu. Dan kalau kamu
seorang content creator yang ingin lebih dari sekadar viral sesaat, buku ini
bisa jadi panduan untuk membangun audiens yang setia.
Saya pribadi merasa beruntung
menemukan buku ini lebih awal. Ia membuat saya mengubah cara pandang,
memperbaiki strategi, dan yang paling penting, menyadari bahwa kepercayaan
adalah mata uang utama di era digital.
Jangan tunggu sampai bisnis
online-mu masuk ke statistik 90% yang gagal itu. Belajarlah dari pengalaman
orang lain, sebelum waktumu habis di trial and error. Buku ini bisa menjadi
mentor yang tidak bosan-bosan mengingatkanmu bahwa langkah besar selalu dimulai
dari memperkenalkan siapa dirimu.
Jika kamu serius ingin bertahan dan
tumbuh di dunia digital, Lynk.id & Digital Marketing – Cara Cerdas
Jualan di Era Online bukan hanya bacaan, tapi investasi pengetahuan yang
wajib kamu miliki.
http://lynk.id/pdfonline/2pqnxj2kj27e/checkout
#arahwaktu #DigitalMarketing #LynkID
#PersonalBranding #BisnisOnline #UMKMGoDigital #BukuRekomendasi
