Pernahkah Anda bertanya-tanya
mengapa sebuah karya berusia lebih dari 2.700 tahun masih sanggup memikat
pikiran dan hati kita? Little of Homer: The Iliad bukan hanya sekadar
buku yang mengulas kembali epik legendaris karya Homer, melainkan undangan
untuk menelusuri lorong waktu—dari Perang Troya hingga konflik batin manusia
abad ke-21. Seolah-olah kisah Achilles, Hector, dan Agamemnon bukanlah milik
masa lalu, melainkan cermin yang memantulkan wajah kita hari ini.
Fakta menarik: The Iliad
ditulis sekitar abad ke-8 SM, tapi hingga kini tetap diajarkan di universitas,
dibicarakan di forum filsafat, bahkan dikutip dalam diskusi tentang perang,
politik, dan psikologi modern. Tidak banyak karya yang bisa bertahan dalam
lintasan sejarah sedemikian panjang. Lalu apa rahasia daya tahannya?
Membaca buku ini, saya merasa Homer
bukan hanya penyair, tetapi seorang “arsitek emosi” yang tahu bagaimana memahat
kemarahan, cinta, dan kehilangan menjadi sesuatu yang abadi. Little of Homer
menghadirkan tafsir segar, penuh data dan analisis, tapi tetap terasa personal.
Ia membuat kita paham bahwa epik ini bukan sekadar catatan perang, melainkan
eksperimen besar tentang kemanusiaan.
Sejenak bayangkan: Achilles, sang
pahlawan terbesar Yunani, berhenti berperang hanya karena merasa harga dirinya
dihina. Dari satu luka ego, bergulir tragedi yang menelan ribuan jiwa. Analogi
sederhananya, ini seperti keputusan sembrono seorang pemimpin dunia modern yang
marah, lalu menekan tombol perang dagang atau bahkan militer. Keputusan pribadi
bisa menjadi api yang melahap seluruh bangsa.
Inilah kejeniusan The Iliad:
ia menyulap kisah peperangan kuno menjadi pelajaran lintas abad. Buku ini
menjelaskan bagaimana karakter-karakter itu, entah Achilles, Hector, atau
Agamemnon, adalah representasi dari kita semua. Kita semua pernah marah,
kehilangan, terjebak ego, atau dipaksa memilih antara kehormatan dan cinta.
Pertanyaan menggugah lain muncul
saat membaca: mengapa para dewa ikut campur dalam urusan manusia? Dalam The
Iliad, dewa-dewa tidak hanya menonton; mereka terjun ke medan perang,
memihak, memanipulasi. Jika ditarik ke dunia modern, bukankah “dewa-dewa” itu
bisa diibaratkan algoritma, pasar global, atau sistem politik yang tampaknya
lebih besar dari kendali individu? Kita merasa punya kebebasan, tapi
sesungguhnya sering digerakkan oleh kekuatan tak terlihat.
Membaca bagian ini membuat saya
berpikir bahwa epik kuno adalah metafora tentang bagaimana manusia modern juga
masih bergulat dengan “tangan tak kasatmata”. Bagi saya, inilah mengapa Little
of Homer: The Iliad terasa sangat relevan untuk dibaca sekarang.
Ada momen ketika buku ini membahas
Hector, sang pahlawan Troya. Ia tahu bahwa ia tak akan menang melawan Achilles.
Tapi ia tetap maju, demi keluarga, demi kota, demi kehormatan. Membaca itu,
saya terdiam cukup lama. Seolah Homer ingin berbisik: keberanian bukanlah soal
menang atau kalah, melainkan kesediaan berdiri tegak meski tahu hasil akhirnya.
Di titik ini, saya teringat
kisah-kisah orang modern yang berjuang melawan penyakit, melawan ketidakadilan,
atau melawan sistem yang tampak mustahil diubah. Hector hadir sebagai simbol
bahwa manusia punya daya untuk memilih: menyerah atau tetap berjuang.
Salah satu kutipan dalam buku ini
(saya parafrasa) berbunyi: “Perang bukan hanya merenggut nyawa, tetapi juga
merampas kemanusiaan mereka yang bertahan hidup.” Kutipan ini mengguncang
saya. Ia seakan mengingatkan kita bahwa perang—dalam bentuk apapun, fisik
maupun psikologis—selalu meninggalkan jejak luka yang tak kasatmata.
Dan bukankah hari ini, kita pun
hidup dalam “perang” yang berbeda? Perang data, perang informasi, perang opini
di media sosial. Trauma digital bisa jadi tidak berdarah, tapi ia menciptakan
luka emosional yang dalam. Lagi-lagi, Homer hadir untuk mengingatkan bahwa
meskipun zaman berubah, pola luka manusia tetap sama.
Ada juga analisis gaya bahasa Homer
yang disoroti dalam Little of Homer. Epik ini dipenuhi repetisi, ritme,
dan formula lisan. Bagi saya, ini seperti algoritma primitif—sebuah cara agar
kisah tetap hidup dari mulut ke mulut, bahkan sebelum tulisan menjadi umum.
Analogi sederhananya, gaya Homer adalah “mesin pencari” zaman kuno: mengulang
pola agar pesan tersimpan dalam memori kolektif.
Dan ternyata berhasil. Ribuan tahun
kemudian, kita masih mengulang nama Achilles, Hector, Helen, dan Priam.
Bayangkan, betapa kuatnya sebuah narasi hingga mampu menembus sekat bahasa,
budaya, dan zaman.
Di titik ini saya ingin bertanya
pada Anda: kapan terakhir kali sebuah buku membuat Anda bercermin pada hidup
sendiri? Little of Homer: The Iliad mengajak kita melampaui sekadar
membaca kisah pahlawan kuno. Ia memaksa kita menengok luka pribadi,
mempertanyakan harga diri, menimbang arti keberanian, dan memikirkan peran
“dewa-dewa modern” dalam hidup kita.
Dan uniknya, buku ini tidak berhenti
pada analisis sejarah. Ia menyodorkan refleksi tentang konteks kontemporer:
politik global, konflik identitas, bahkan perang batin dalam diri manusia
modern. Membacanya, saya merasa sedang duduk di kelas filsafat, kelas sejarah,
dan kelas psikologi sekaligus.
Seiring halaman bergulir, saya makin
yakin bahwa The Iliad bukan sekadar bacaan akademik. Ia adalah cermin.
Ia mengingatkan kita bahwa manusia, betapapun modern, tetap makhluk yang rapuh,
emosional, dan terikat pada kehormatan serta cinta.
Mungkin itulah alasan kenapa epik
ini tidak pernah mati. Karena ia bukan hanya tentang Yunani kuno, tapi tentang
kita semua. Tentang bagaimana kita bertengkar di meja rapat, bagaimana kita
mempertahankan martabat di hadapan dunia, dan bagaimana kita rela mengorbankan
segalanya demi orang-orang yang kita cintai.
Akhirnya, saya harus jujur: selesai
membaca Little of Homer: The Iliad, saya merasakan campuran kagum,
lelah, dan tercerahkan. Kagum pada kepiawaian Homer, lelah karena begitu banyak
pertanyaan eksistensial bermunculan, tapi tercerahkan karena saya
menyadari—perjalanan hidup manusia memang selalu soal mencari makna di tengah
kekacauan.
Buku ini bukan hanya bacaan bagi
pecinta sastra klasik. Ia penting untuk siapa saja yang ingin memahami mengapa
manusia terus mengulangi kesalahan yang sama, dan bagaimana kisah kuno bisa
menjadi kunci memahami masa kini.
Jika ada satu buku klasik yang harus
Anda baca atau miliki di rak pribadi, Little of Homer: The Iliad adalah
jawabannya. Jangan tunggu sampai kisah ini hanya menjadi catatan sejarah
akademik. Bacalah sekarang, renungkan, dan biarkan ia mengguncang cara Anda
memandang hidup, cinta, dan konflik.
👉 http://lynk.id/pdfonline/gly0vg32vm4z/checkout
dan biarkan diri Anda
menyelami epik yang telah bertahan ribuan tahun, namun terasa seolah ditulis
untuk kita semua hari ini.
#arahwaktu #theiliad #homer
#literasiklasik #bookreview #epikyunani
