Pernahkah kamu merasa otakmu seperti
laptop yang dipaksa bekerja dengan baterai 5%? Layar masih menyala, tapi
performa melambat, konsentrasi buyar, bahkan mood ikut merosot. Saat pertama
kali membuka buku Makanan yang Bisa Meningkatkan Kinerja Otak, saya langsung
tersentak: ternyata, apa yang kita makan sehari-hari bukan hanya soal perut
kenyang atau tubuh sehat, melainkan juga tentang bagaimana otak kita menyala
atau meredup.
Buku ini menjelaskan otak sebagai
mesin paling kompleks di tubuh manusia. Ia hanya menempati 2% dari total berat
tubuh, tapi menghabiskan sekitar 20% energi harian. Bayangkan otak sebagai
prosesor super-komputer, yang butuh “listrik” stabil agar bisa berjalan cepat
dan tanpa error. Jika kita memberi “bensin murahan” berupa makanan cepat saji,
gula berlebih, dan lemak jenuh, performanya merosot. Tapi jika kita memberi
“bahan bakar premium” berupa omega-3, vitamin B, blueberry, atau
kacang-kacangan, otak berubah jadi mesin cerdas yang tangkas, kreatif,
sekaligus tahan stres.
Saya menemukan diri saya sering
mengabaikan fakta ini. Bertahun-tahun saya terbiasa mengandalkan kopi berlebih
untuk memaksa fokus, padahal itu hanya solusi sesaat. Membaca buku ini seperti
ditampar lembut: bukan kafein yang menyelamatkan otak, melainkan pola makan
yang konsisten dan penuh nutrisi.
Tahukah kamu bahwa konsumsi rutin
blueberry bisa membantu memperlambat penurunan kognitif hingga 2,5 tahun
dibanding mereka yang jarang makan buah ini? Atau bahwa cokelat hitam dengan
kadar kakao tinggi mampu memperlancar aliran darah ke otak sehingga membuat
kita berpikir lebih jernih? Data-data semacam ini berserakan di sepanjang buku,
dikemas dengan gaya yang ringan namun tetap berbasis sains.
Analogi yang digunakan penulis juga
cerdas. Misalnya, karbohidrat kompleks digambarkan seperti “lilin panjang yang
menyala stabil”, berbeda dengan gula sederhana yang hanya seperti “korek api
sekali gesek—nyala sebentar lalu padam”. Analogi ini menempel kuat di kepala
saya, membuat saya lebih sadar memilih nasi merah ketimbang nasi putih, atau
gandum ketimbang tepung olahan.
Yang paling menarik, buku ini tidak
berhenti pada teori. Ia memberikan daftar makanan konkret yang bisa kita
temukan sehari-hari, dari telur, kacang kenari, ubi jalar, hingga sayuran
hijau. Rasanya seperti diberi peta jalan sederhana untuk meningkatkan kualitas
otak, tanpa harus membeli suplemen mahal atau ikut tren diet ekstrem.
Ada satu momen reflektif yang
benar-benar menggugah saya: penulis menulis bahwa “otak yang sehat adalah
cermin dari pilihan hidup yang kita buat.” Kalimat itu terasa seperti pengingat
personal. Selama ini saya selalu sibuk mengejar target, berlari dengan pola
makan seadanya, padahal mungkin kualitas ide, emosi, dan produktivitas saya
menurun karena lalai merawat otak.
Kalau dipikir-pikir, ini mirip
seperti merawat taman. Jika kita hanya menyiram sekali seminggu dan
membiarkannya diterpa panas, bunga akan layu. Tapi jika setiap hari diberi air
dan nutrisi yang tepat, taman akan tumbuh subur. Otak kita persis seperti
itu—taman ide yang membutuhkan perawatan konstan. Buku ini membuat saya melihat
kembali dapur dan meja makan saya sebagai “laboratorium otak”, tempat saya bisa
meracik bahan bakar terbaik bagi pikiran saya.
Sekitar halaman pertengahan, buku
ini membahas hubungan antara makanan, stres, dan kesehatan mental. Di sinilah
saya paling banyak mengangguk. Penulis menjelaskan bagaimana magnesium dari
kacang-kacangan bisa menenangkan sistem saraf, atau bagaimana yogurt dengan
probiotik membantu usus menjaga keseimbangan mikrobiota yang ternyata
berhubungan langsung dengan mood. Fakta ini sangat masuk akal jika kita melihat
bahwa 90% serotonin—hormon kebahagiaan—diproduksi di usus, bukan di otak.
Saya jadi teringat pengalaman
pribadi: saat masa-masa sibuk dan stres, saya cenderung makan sembarangan.
Akibatnya, pikiran makin kacau, tidur sulit, dan produktivitas hancur. Buku ini
membuka mata saya bahwa siklus itu bisa diputus dengan cara sesederhana
menambahkan alpukat atau teh hijau ke dalam rutinitas. Sebuah insight yang
sederhana tapi powerful.
Hook lain yang mengejutkan muncul
saat membahas tidur dan hidrasi. Penulis menekankan bahwa meskipun makanan
adalah fondasi, tanpa tidur cukup dan asupan air yang memadai, otak tetap tak
bisa bekerja optimal. Ia menuliskan, kurang tidur 1–2 jam setiap malam selama
seminggu bisa memangkas performa kognitif setara dengan kondisi mabuk alkohol
ringan. Membaca fakta ini membuat saya berhenti menyepelekan jam tidur—bahkan
lebih penting dari sekadar minum kopi untuk “menutup rasa kantuk”.
Analogi yang saya sukai: otak
diibaratkan seperti perpustakaan yang penuh buku. Saat tidur, pustakawan di
dalamnya merapikan rak, mengarsipkan memori, dan membuang catatan yang tidak
perlu. Tanpa tidur, perpustakaan itu kacau, sulit mencari informasi, bahkan
berisiko terbakar oleh stres.
Mungkin yang membuat Makanan yang
Bisa Meningkatkan Kinerja Otak terasa berbeda dibanding bacaan lain adalah
perpaduan antara data sains, analogi sederhana, dan ajakan reflektif. Ia tidak
menggurui, melainkan mengajak pembaca merenung: “Jika kamu bisa merawat
tubuh dengan olahraga, mengapa kamu menelantarkan otak yang justru mengatur
segalanya?”
Saya menutup buku ini dengan rasa
campuran: kagum, sedikit menyesal atas kebiasaan buruk saya selama ini, tapi
juga penuh harapan. Saya merasa diberi kendali kembali—bahwa kualitas ide,
kreativitas, dan mood bukanlah hal mistis yang hanya dimiliki segelintir orang,
melainkan hasil dari kebiasaan kecil yang bisa kita latih setiap hari.
Bagi siapa pun yang merasa sering
lelah, sulit fokus, mudah stres, atau bahkan kehilangan gairah hidup, buku ini
bisa jadi titik balik. Ia tidak menjanjikan “trik instan” ala motivator, tapi
menawarkan dasar ilmiah yang bisa dipraktikkan. Rasanya seperti mendapatkan
panduan bertahan hidup di abad 21, di mana otak kita dituntut bekerja lebih
cepat dari generasi sebelumnya.
Jangan tunggu sampai otakmu
benar-benar “mogok” baru sadar pentingnya nutrisi. Bayangkan jika setiap ide
brilian yang ada di kepalamu bisa muncul lebih sering hanya karena kamu
mengganti camilan keripik dengan segenggam kacang kenari, atau mengganti
minuman manis dengan segelas teh hijau. Itu bukan sekadar pilihan gaya
hidup—itu investasi jangka panjang untuk kualitas hidup.
Kalau kamu penasaran dan ingin
membuktikan sendiri betapa dahsyatnya perubahan kecil dalam pola makan, buku
ini wajib kamu miliki. Jangan biarkan otakmu berjuang sendirian sementara
tubuhmu punya pilihan untuk memberi bahan bakar terbaik.
👉 Dapatkan bukunya sekarang di toko buku kesayanganmu atau
melalui link pembelian online http://lynk.id/pdfonline/056r5pev2knw/checkout. Biarkan dirimu merasakan bedanya,
sebelum orang lain mendahuluimu.
#arahwaktu #ulasanbuku #makanansehat
#otakcemerlang #fokustanpastressfree #bookreviewindonesia
